Pada postingan
sebelumnya saya sudah menampilkan Arsip Belanda yang ditulis oleh Ds. J.D. Van
Roest yang dipublikasikan pada hari Kamis, 1 Desember 1983 dengan judul tulisan “Zeventig jaar
Evangelie in Toraja” atau “ Tujuh puluh tahun
Injil di Toraja” atau “Pitung pulo taunna kareba kaparannuan bendan lan
tondok Toraya”. Saya tidak dalam kapasitas menerjemahkan
keseluruhan isi dari tulisan Pdt. Van Roest, akan tetapi saya mau menuliskan
sedikit tentang maksud tulisan tersebut. Dalam paragraph pertama tulisan itu
Pdt. Van Roest menyampaikan sedikit tentang awal Injil masuk ke Toraja pada
tahun 1913 yang ketika itu diberitakan oleh Pdt. AA Van Loosdrecht bersama
istrinya, keduanya hidup ditengah-tengah komunitas orang Toraja yang hidup
terisolasi di daerah pegunungan. Najaar 1913, Langs een niet ongevaarlijk
kronkelend voetpad over de bergen bereikt de eerste zendeling van de GZB -
samen met zijn vrouw en een groep dragers - het sterk geïsoleerd in het
bergland van Zuid-Celebes levende Torajavolk. Met deze zendeling, Ds. A. A. van
de Loosdrecht. Pdt. Van Roest pada tulisannya juga
menyampaikan bahwa Pada perayaan 70 tahun Injil di Toraja pada tahun 1983 di
Rantepao, orang Toraja merayakannya dengan sangat meriah, Van Roest
menggambarkannya dalam sebuah kalimat bahwa kemeriahan itu tampak dengan
dibuatnya sebuah panggung di halaman Gereja Toraja (Jem. Rantepao sekarang),
yang kemudian dihiasi oleh ornamen dan ukiran khas Toraja yaitu merah, kuning,
hitam, dan putih “Het geheel gekleurd in de Torajakleuren
(rood, geel, zwart en wit)”, pada dekorasi di sekitar halaman gereja
pada seberang pintu masuk Gereja dibangun sebuah miniatur kapal “Op
het veld, schuin tegenover de ingang van
de kerk, is een schip gebouwd” dan terdapat tulisan dengan huruf besar YESUS KRISTUS KEHIDUPAN DUNIA
yang turut menghiasi perayaan di gereja ketika itu. perayaan 70 tahun Injil di
Toraja itu dapat digambarkannya dalam kalimat
“Langs
de buitenrand van dit grote veld zijn van bamboe, planken en nippabladeren
grote afdaken op palen gemaakt, die als een theater ruimte bieden voor duizend
toeschouwers” dimana pada halaman gereja juga dbangun
tribun untuk tamu kehormatan dan untuk masyarakat yang datang yang dibuat dari bambu dan papan serta
beratapkan Nipa (atap dari daun sejenis pohon palem). Pdt. Van Roest mengatakan
bahwa pada perayaan itu dia mendengar alunan lagu bahasa Toraja yang dibawakan
oleh pemuda/i Toraja sambil menari “Puang Jesu tu Pela''bak untaloi kamatean...
het lied van de Zaligmaker, die de dood heeft ovenwonnen” Pada perayaan itu selain warga jemaat Gereja Toraja dari berbagai
daerah juga turut hadir Delegasi dari Dewan Gereja Indonesia “de meeste bij de Indonesische
raad van kerken aangesloten kerken”, delegasi GZB “en krijgen als GZB-delegatie” dan Menteri Agama Republik Indonesia beserta rombongannya “de
Indonesische minister van godsdienst met zijn gevolg” dalam tulisan itu
tidak dicantumkan nama menteri agama ketika itu akan tetapi jika kita melihat
tahun diselenggarakannya perayaan 70 injil di Toraja tahun 1983 pada tahun itu yang memegang mandat menteri agama Indonesia (Kabinet
Pembangunan IV) ketika itu bernama Prof.Dr.H.Munawir Sjadzali,MA (1983-1993).
Pada tulisan itu juga menyebutkan bahwa mimbar yang digunakan berbentuk
kandean Dulang “Op de
voorplecht staat een spreekgestoelte in de vorm van een ,,dulang",
dimana masa lalu mangkuk kayu yang memiliki
kaki tinggi, pada pesta adat besar tamu terhormat disajikan makanannya di
kandean dulang sekarang tempat dimana selama pesta diperuntukkan hanya buat
para bangsawan kini digunakan untuk melayani Firman Tuhan untuk semua orang
tidak pandang dia siapa dan derajatnya apa mungkin itu makna yang dapat
disampaikan mengenai bentuk mimbar “kandean dulang” ringkasnya bahwa Firman
Tuhan hadir dan dapat didengar oleh semua orang tanpa memandang kasta dimana
Toraja mengenal dan menganut sistem kasta. Pada malam perayaan itu semua lampu
dimatikan untuk memperingati hadirnya Injil di Toraja ketika itu kota Rantepao
gelap gulita beberapa saat dalam bahasa arsip dikatakan “Probeert u het zich in te denken: tenwijl
werkelijk duizenden mensen in volkomen stilte luisteren, gaan alle lichten op
het feestterein geleidelijk uit tot het volkomen donker is” kegiatan ini juga pernah dilakukan
ketika perayaan 100 tahun Injil masuk Toraja (100 Thn IMT) di kota Makale tahun
2014 lalu dimana lampu dimatikan kemudian obor dinyalakan pertanda bahwa Toraja
yang dulunya hidup dalam gelap kini hidup dalam terang cahaya kemulian Injil
Tuhan Yesus. Okeh kembali ke laptop! Dalam perayaan itu disebutkan bahwa ketika
lampu sedang dimatikan kemudian Pendeta Lebang berbicara “ Kami sedang duduk
dalam kegelapan yang menyelimuti kami….. akan tetapi sekarang (*satu per satu lampu kembali dinyalakan)
Tuhan telah menarik kami dari kegelapan dan dosa dengan menghadirkan cahaya-Nya
yang luar biasa dengan ditandai pekerjaan Tuhan di Tana Toraja pada tahun 1913
sampai sekarang” begitulah penggalan kalimat Pdt. Lebang yang berhasil sedikit
saya terjemahkan dan ini bahasa arsipnya “dan
klinkt in die duisternis onder doodse stilte de sonore stem van de voorganger,
Ds. Lebang. „Wij zaten in duisternis, in diepe donkerheid, waarlijk
duisterlingen waren wij. . . maar nu (en één voor één gaan de lichten weer aan)
zijn wij getrokken, getrokken door de Heere Zelf uit die duisternis van
heidendom en zonde in Zijn wonderbaar licht. Getekend wordt het werk des
Heeren in Tana Toraja vanaf 1913 tot nu" pada perayaan 70 tahun Injil masuk toraja itu turut diramaikan oleh
kelompok-kelompok parade/festival yang mewakili setiap klasis Gereja Toraja
dari berbagai daerah dengan membawa Lettoan yang dihiasi berbagai pernak
pernik. Pdt. Van Roest kemudian menuliskan “Het lijkt wel of er geen einde
aan de stoet zal komen, golven van kleuren en vreugde” yang kurang
lebih artinya “tampak tidak ada akhir parade, gelombang warna dan sukacita
terus menerus ada” dari pernyataan itu dapat diartikan bahwa pada parade
perayaan 70 tahun Injil di Toraja, orang Toraja dari berbagai daerah hadir dan
turut berpartisipasi dengan penuh sukacita. Tema perayaan 70 tahun Injil
di Toraja ketika itu adalah “Bangunlah dan Makan, karena perjalanan masih
terlalu panjang untuk anda” (Sta op en eet, want de weg zou voor u te
veel zijn) seperti yang disampaikan oleh ketua sinode
Gereja Toraja ketika itu Pdt. A.J. Anggui ketika itu. Dari tulisan ini dapat
disimpulkan bahwa perayaan 70 tahun Injil di Toraja juga dirayakan dengan
sangat meriah oleh masyarakat Toraja. karena Injil telah membawa angin segar
kepada orang Toraja serta seperti Oasis
ditengah-tengah padang pasir. Orang Toraja yang dahulunya tidak mengenal
pendidikan dan kesehatan dengan baik kini Toraja sudah mencetak beberapa
putera/i yang intelektual dan mampu
bersaing dengan daerah lain. Sekian tulisan yang saya buat kiranya tulisan yang
masih jauh dari kata sempurna ini dapat menjadi sedikit bantuan guna mengenal
sejarah kita sendiri. Kritik Saran yang membangun dari pembaca sangat
diharapkan. Kurre Sumanga’ na Puang Mora tu tontong umpasakkeki sola nasang..
SALAMA’ SITAMMU POLE. Salam AHIHIHI #Toraya..
Irvan Tandilintin
(dibuat pada Minggu, 12 April 2015 pukul 19.06 WITA)